PUTRI DEWA DELENG (GUNUNG) LUMUT *)

            Parmonangan adalah sebuah desa di Pakkat Tapanuli Utara sekarang ini. Desa inilah satu-satunya desa di Kecamatan Pakkat yang memakai bahasa Pakpak Dairi. Walaupun desa ini kecil dan terpencil dari keramaian lalu lintas, namun kaya dengan mitos dan legenda yang pada masa sekarang ini disebut dengan istilah sejarah.

Jika hari telah sore (diawal malam) sering orang tua-tua dengan sukarela menyampaikan hal-hal yang aneh dan ajaib dalam bentuk cerita agar cerita yang berharga itu tidak hilang ditelan oleh jaman. Kami coba menuliskannya, mudah-mudahan dapat jadi bahan bacaan yang bernilai bagi remaja yang sedang berkembang.

Arkian, di hulu sungai sikurkuren di kawasan parmonangan ada sebuah air terjun yang cukup tinggi dan seram karena berada di tengah hutan belantara yang sunyi senyap. Suatu ketika sampailah seorang pemburu yang sehari-hari mencari binatang buruan namun tidak bersua barang seekor jua pun. Tiba tiba terdengarlah suara yang bertalu-talu, yang makin lama makin mengasyikkan dan mengesan. “eh, suara apakah ini gerangan?”, demikian pemburu bicara kepada dirinya, teringatlah ia akan petuah orang-orang tua, bahwa ditengah hutan yang sunyi sepi, tidak jarang orang bersua dengan kumpulan atau perkampungan jin. Tetapi orang-orang halus itu sangat takut akan anjing. Menurut yang punya cerita, wajah jin tersebut mirip dengan wajah manusia tetapi kakinya kecil-kecil dan betisnya menghadap kemuka, sehingga jejak kakinya berlawanan dengan jejak kaki manusia.

Dengan hati-hati sang pemburupun mengamankan anjingnya seraya diikat dengan rotan, dan diisyaratkan kepada anjingnya agar jangan melolong. Dan terdengarlah suara gendang itu semakin jelas, meriah dan bertalu-talu. Segera diintipnya dari balik sebuah belukar yang agak rimbun. Terlihatlah olehnya para jin itu sedang menari dengan sangat meriah dan berpakaian lengkap seperti manusia layaknya.

Pada waktu puncak keramaian itu berlangsung, pemburun pun segera melepaskan anjingnya. Sekejap itu pula suara gendang pun senyap dan para jin itu lari pontang-panting bercerai-berai tak tau rimbanya meninggalkan semua alat dan instrumennya. Setelah sang pemburu mendekat, alat-alat itu telah berobah menjadi batu biasa. Di cobanya memukul batu-batu itu, tetapi alangkah herannya : suara batu itu lebih nyaring dan lebih merdu dari suara gendang biasa. Diambilnya sebuah dari yang terbaik suaranya karena tak mungkin dibawanya semua, karena cukup berat.

Keesokan harinya pemburu bersama temannya pergi kesana guna mengambil perkakas tersebut. Setelah dipukul ternyata tak ada lagi yang menyerupai suara gendang dan sudah berobah seperti suara batu biasa.

Demikianlah dalam waktu yang cukup lama batu yang satu itu tetap berbunyi sebagai gendang, dan sering dipinjam orang waktu mau berpesta. Siapa saja yang meminjamnya selalu beroleh sukses dan rejeki yang besar.

Pada suatu waktu, pernah sekali raja Sisingamangaraja datang ke Desa tersebut ingin menyaksikan langsung bagaimana bunyi dan rupa gendang ajaib itu, karena sudah terberita keanehannya sampai kenegeri barus dan kenegeri toba. Tetapi sayang, pemiliknya tidak mengakui. Tolonglah tuan, periksalah rumah ini tak ada apa-apa”, sahutnya kepada raja.

Sekembalinya Sisingamangaraja, Desa itu pun terbakar habis. Entah pun karena dusta sang pemburu tersebut yang mengakibatkan kebakaran itu, tak seorang pun yang tau. Hanya Tuhanlah yang pasti tahu keadaan itu. Sampai sekarang Desa itu bernama lebbuh messeng dan Desa itu tetap kosong sampai sekarang ini. Dan sejak itu pula gendang itu tidak berbunyi lagi dan kembali seperti batu biasa. Dari desa inilah dulunya penduduk parmonangan sekarang ini berasal. Sebelum agama monotheisme masuk ke parmonangan, di tempat ini dulunya, penduduk menganut kepercayaan sipele begu (menyempah dewa-dewa) yang bertempat tinggal di gunung-gunung dan di sungai.

Tersebut lah : dewa gunung Lumut, gunung pagaraji dan gunung tambunen. Sekitar gunung yang tiga inilah menurut anggapan mereka yang paling berkuasa dan sakti. Dewa sungai yang terkenal berada disungai Lae Persukaten dan sungai Lae Garap. Dahulu di persukaten orang tak berani memakai baju merah karena takut disergap oleh dewa. Dan di Lae garap ada satu pohon pula yang pada cabangnya terdapat berpuluh-puluh sarang lebah yang warna-warni, merah dan hitam. Tentang ketiga gunung tadi, sering orang yang pergi kesana menjadi kesasar dan tidak tau jalan kembali. Dan orang itu merasa seperti berada pada sebuah negeri yang besar dan ramai adanya. Tetapi jika orang yang tersesat itu memohon pulang kenegerinya, cukup dengan memicingkan mata dan berpusing tujuh kali, dan alangkah ajaibnya….. mereka telah sampai di halaman rumahnya sendiri.

Gunung (delleng lumut) dinamai demikian karena disana ada dijumpai seekor kuda yang berbulu lumut, yang hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang sesat di sekitar kawasan itu.

Demikian juga gunung yang tiga tadi menurut orang tua-tua, penghuninya selalu kompak dan seia sekata. Ketiga-tiganya mempunyai adat dan lembaga yang sama adanya. Dan ada lagi dua kawannya, yaitu : sibahenggu dan sikurkuren. Jadi pada jaman dulu, jika orang parmonangan berpesta memukul gendang maka dewa dari gunung yang lima inilah yang hinggap kepada dukunnya. Dan jika dewa yang lima itu telah hinggap kepada yang kesurupan itu, mereka akan merasa puas. Mereka percaya bahwa kesehatan dan kesejahteraan akan dapat mereka nikmati.

Ada satu adat lembaga bagi dewa-dewa dari kelima tempat ini. Mereka tidak dapat menerima persembahan yang haram-haram seperti daging babi dan anjing. Konon menurut orang tua-tua, kalau digunung lumut, pagaraji dan tambunen, babi hutan pun tak berani mendekat karena diusir oleh dewa penghuni gunung-gunung itu.

Arkian pada suatu hari, dari negeri dewa yang lain muncullah seorang pemuda yang tampan dan gagah berkunjung ke negeri dewa gunung lumut, lengkap dengan pakaian serba indah dan berkilau. Dia memakai sebuah pedang emas yang cantik. Dan sang pemuda ini sangat pandai mencocokkan dirinya dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat dewa gunung lumut. Karena ketampanannya itu, maka tidak heran lah jika banyak diantara putri dewa yang jatuh cinta padanya. Namun demikian putri lumut tidak mau bertindak lain kecuali dengan ijin raja dan pengetu-pengetua dewa negerinya.

Suatu hari pemuda tersebut memberanikan diri menyampaikan hasratnya kepada raja dan pengetua gunung lumut, bahwa dirinya ingin menjadi menantu raja gunung lumut tersebut. Karena lamaran itu, para dewapun musyawarah. Putus kata, mereka menerima pinangan sang pemuda tampan itu tetapi dengan syarat bahwa si anak (putri) dan menantu harus tinggal menetap di kawasan gunung lumut sebab dikhawatirkan nanti akan memakan-makanan yang pantang bagi mereka. Dan jika berpesta, pestanya itu tidak akan memuaskan kalau tidak ada sajian daging babi.

Karena cinta yang mendalam terhadap putri raja gunung Lumut, maka persyaratan untuk  menjadi penduduk negeri gunung lumut itu pun dipenuhi sang pemuda, sehingga perkawinan pun berlangsung antara pemuda pendatang dengan putri dewa gunung lumut.

Suatu pagi, dengan merendah hati, datanglah sang menantu kepada mertuanya untuk minta diri membawa isterinya ketempat orang tuanya dengan maksud memperkenalkan isterinya itu. Lagi pula dirinya sudah begitu lama belum pulang-pulang sehingga orang tuanya itu selalu mencari-cari dirinya, apakah masih hidup atau sudah mati. Karena pandainya menyampaikan alasan di samping tutur bahasanya yang sopan santun maka mertuanya pun mengijinkannya. Diberangkatkanlah anak dan menantunya itu dengan baik sebagaiman mestinya menurut adat lembaga yang telah menjadi kebiasaan bagi negerinya terhadap sanak famili. Pendek cerita, kedua pengantin itu pun sampai kenegeri dewa rambe yang bernama gunung samparungan (sebuah gunung yang tinggi menjulang kelangit). Dan ada pula sebuah sahabatnya yang bernama gunung pinapan. Demikian baiknya mereka ini menerima kedatangan anak dan menantunya putri gunung lumut.

Tersebutlah kecantikan putri dewa gunung lumut yang sungguh jelita yang jarang dapat diimbangi oleh putri gunung samparungan sendiri. Apalagi ditambah pula denga tutur yang lemah lembut itu. Maka diumumkanlah akan segera memajang pesta selama tujuh hari tujuh malam untuk menyambut kedatangan sianak hilang yang telah pulang itu bersama menantu jelita yang berbudi luhur itu. Sebelum pesta mulai, berbicara lah putra gunung samparungan. “wahai semua sanak keluargaku, semua famili yang jauh dan dekat. Kami akan segera kembali kenegeri mertuaku, negeri gunung lumut, karena waktu kami berkunjung kemari hanyalah seminggu saja. Akan hal mertuaku adalah penganut parmalim, dan saya pun telah memasukinya. Karena itu kami tak boleh memakan makanan yang haram, yakni daging babi dan daging anjing. Sungguh suatu yang pantang benar bagi kami, jangankan memakannya, menyentuh saja pun tak boleh”’ katanya. “jika demikian adat dan lembaga negeri kalian, silahkan, kami tidak akan melarangnya. Tetapi ini, di negeri kami, bukan demikian adat dan lembaganya, kami yang punya anak dan kami yang punya menantu serta kami pula yang berpesta. Jika namanya pesta, semestinyalah dihidangkan daging babi. Jika tidak demikian, bukan pesta lagi namanya”. Jadi tak ada lagi cara yang diketahui oleh menantu gunung lumut untuk mengelakkan keadaan tersebut.

Dalam pesta itu terpaksalah sang putra itu memakan daging babi. Karena berhasil bersorak-soraklah mereka kegirangan. Berikutnya mereka mau memaksa menantunya tetapi tidak mau. “walau anda membunuh saya, namun memakan daging babi itu saya tidak mau”, katanya. Karena itu mengamuklah mertuanya. “jika engkau tidak menurut, tak usalah menjadi menantuku. Begitu banyak gadis-gadis disini berebut menjadi menantuku, dan tidak kurang jelitanya ketimbang engkau. Buat apa menantu macam kau ini begitu berani menengkar perkataanku di tengah-tengah khalayak ramai? Habis engkau makan, kan bisa bersuci atau Merpangir ?, kan begitu banyak sungai di negeri kami ini”. Menangislah sang putri gunung lumut dengan berurai air mata dibarengi rasa kesal yang tak terhingga, terlebih lagi di negeri itu tak ada orang atau kenalan yang datang membelanya.

Malamnya, waktu dewa-dewi sedang lelap tidur, larilah dia seorang diri. Diperjalanan sewaktu melewati daerah gelap, di bawah pohon pule yang banyak terdapat sarang lebah, disitulah putri dewa gunung lumut meninggal, karena kecapaian dan karena lapar yang tak terhingga ( tak ada manusia menemui jenazah jelita itu, namun menurut raja sepanjang penelitian mereka tak ada yang berpulang).

Begitu lama keluarga istana dewa gunung lumut menunggu akan kedatangan putri dan anak menantunya, namun tak kunjung tiba.

Putus rundingan, maka dikirimlah utusan orang bijak berani guna meneliti dan menyelidiki, apa sebenarnya yang telah terjadi.

Sampailah orang suruhan, namun orang tak peduli sama sekali, sungguh tak dihiraukan dan diperdulikan. Setelah pertanyaan diajukan datanglah jawaban. Tak kami ketahui kemana perginya anak tuan, buat apa memilih menantu yang makanannya pun harus dipilih-pilih, yang punya banyak pertanyaan ?, jika uang makan dapat kami beli berapa yang tuan maui. Karena kami punya harta dan emas yang banyak. Separuh gunung ini ada gudang harta kami.

Kami tidak gila harta dan emas, kami memberikan anak kami dengan dugaan bahwa tuan-tuan mempunyai adat dan lembaga. Rupanya tuan-tuan orang bijak semuanya, “jangan berkata segampang itu, demikian dewa rambe. Jangan ada mengatur di negeri kami, jika bermusuhan sunggulah kerap saja dan  siapa saja biar kami memulihkan, kami tidak pernah menaruh gentar dan takut terhadap siapapun.

Berkatalah dewa utusan gunung lumut : “asalkan tuan-tuan tidak mungkir janji, kami akan datang unutk memusnahklan negeri ini”, katanya. “tak usah terlalu lama tuan-tuan menunggu, kami segera datang. Harap diungsikan perempuan dan anak-anak, jika tuan tidak ingin mampus semuanya”, demikian ancamannya. Maka kembalilah utusan kenegerinya dengan rasa dendam yang menyala-nyala.

Seminggu antaranya, seorang datang ke Sindabar (2 km dari Parmonangan). “lusa, diharap jangan ada orang keluar rumah dari jam lima pagi hingga sekira jam sembilan, sebab bala tentara akan berlalu”, demikian penegasannya. Tetapi tak seorang pun penduduk negeri Sindabar yang percaya mengingat negerinya itu cukup aman. Jadi sampai dengan hari yang dijanjikan penduduk Sindabar tetap bekerja sebagaimana biasa, para perempuan penumbuk padi pun pergi kehalaman menumbuk padi pada waktu masih pagi buta. Tiba-tiba, tidak diketahui entah dari mana datangnya, negeri itu telah penuh sesak dengan bala tentara, semuanya berseragam merah. Keadaannya benar-benar seperti lautan api yang sedang menyala-nyala adanya. Larilah penduduk Sindabar tunggang langgang, banyak lesung yang jatuh berguling karena gugupnya para penumbuk padi tersebut. Kemudian bala tentara itu sampai kesebuah lubuk bernama Namotong. Tetapi heran bin ajaib, sejak dari sana orang tidak mengetahui kemana bala tentara yang ribuan itu pergi. Tetapi sekira tengah hari, bala tentara berbaju merah itu telah mereka lihat berada di Sangga (di hilir Parajaan 6 km, disebelah Parmonangan). Ada diantara penduduk yang memberanikan diri bertanya, yang menurut penjelasan bala tentara itu mereka menuju tanah rambe negeri gunung Samparungan.

Jadi diduga antara Sindabar dengan Sangga ada terowongan besar yang tembus sepanjang kira-kira 10 km. Dan pernah ada seorang secara iseng-iseng menjatuhkan dedak di atas air berpusing pada namatong Sindabar, dimana sebagian dedak tersebut muncul di Sangga. Jadi rupanya jika melewati jalan bawah tanah tentara dewa tadi berobah menjadi ular. (perlu diterangkan bahwa air Sindabar mengalir ke Cingkrru arah utara, sedang Sangga adalah arah Timur).

Sore harinya, tiba-tiba, berbunyilah guruh tunggal, kemudian petir sambung menyambung, datanglah hujan bagai dicurahkan dari langit dibarengi dengan topan dan badai, lalu menyala dan menyambar-nyambarlah api raksasa, bertiuplah puting beliung….. dan di sambarlah gunung Samparungan terpotong dua. Puncaknya terlempar kedaerah Barus. Saat itu nampaklah oleh penduduk Barus, api tersebut bagai bintang yang gemerlapan. Sejak itulah kawasan tempat jatuhnya puncak gunung Samparungan itu di sebut orang Sibintang.

Dua tahun lamanya kawasan Samparungan dan Sibintang mengeluarkan bau busuk yang memuakkan. Dan jika orang mendekatinya, mereka akan melihat beribu-ribu bangkai ular besar dan kecil. Rupanya diwaktu bala tentara itu sedang berperang mereka merobah dirinya menjadi ular, yakni tentara yang berbaju merah dari gunung Lumut dan gunung Samparungan.

Demikianlah cerita gunung lumut yang dapat kami tuliskan terhadap teman atau para remaja tercinta, semoga dapat menjadi suluh bagi manusia, bahwasanya kesombongan akan dikalahkan oleh  orang yang mengutamakan budi pekerti luhur. Benar tidaknya cerita ini perlu menjadi bahan riset ilmiah  masa kini. Gunung Samparungan yang terpenggal itu masih berada disana hingga saat ini. Dan ada baiknya jika dibandingkan antara bagian yang tercampak ke Barus dengan induknya, misalnya tentang : tanahnya, batu-batunya, dan pepohonannya. Demikian juga terowongan antara Sangga dengan Sindabar.

Demikian akhir cerita, lebih kurang kami mohon maaf. Kemudian dari pada itu maka selamatlah kita semua.

 

 

 

 

 

 

[i]

 

 


[i] Cerita Putri Dewa Deleng (Gunung) Lumut, ditulis kembali dari kumpulan cerita Rakyat Sumatera Utara , Taruna Nusantara, Informan, Oleh Jansen Gajah dan Pengumpul Cerita, Dra. Peraturen Sukapiring,  Badan Pengembangan Perpustakaan Sumatera Utara

Tentang bulletinrintisprana

semua tentang pakpak
Pos ini dipublikasikan di Legenda. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar